Keindahan-Keindahan Yang Ajaib




“Mas, bantu saya cari pensil dulu ya.” Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Suara Raya terdengar khawatir dengan mata menyisir kanan dan kiri jalan raya, berharap kalau saja ada toko alat tulis yang sudah buka. Pengojek mengangguk perlahan dengan raut wajah kebingungan. Raya terus memeriksa jam di pergelangan tangannya secara berkala, khawatir terlambat datang ke lokasi ujian.

Hari ini Raya terjadwal mengikuti ujian kemampuan bahasa Inggris, demi kelengkapan persyaratan aplikasi beasiswa ke salah satu universitas di Inggris Raya. Raya ingin melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda.

Raya bersama pengojek berkeliling sekitar lokasi ujian untuk mencari toko swalayan dua puluh empat jam, satu-satunya harapan Raya toko yang buka dan, mungkin, menjual pensil. Lima toko swalayan terdekat sudah Raya sambangi tapi hasilnya nihil. Raya dengan berat hati berpasrah dan berharap dengan peserta lain yang mungkin membawa pensil cadangan.

Raya memberikan uang lebih kepada pengojek karena sudah membantunya berkeliling mencari pensil. Ia bergegas berlari masuk ke dalam gedung berlantai tiga dengan cat tembok yang didominasi warna putih di deretan rumah toko. Di atas pintunya tertulis besar UKRIDA, kepanjangan dari Universitas Kristen Krida Wacana.

Di halaman parkir depan gedung, berjejer mobil-mobil mewah. Raya merasa tidak aneh, karena ujian kemampuan bahasa inggris ini memang mungkin hanya bisa diikuti oleh orang-orang kelas menengah ke atas saja, karena harganya yang selangit. Sebenarnya ada pilihan ujian yang sepuluh kali lebih murah lain bagi yang tidak bermodal besar untuk mendapatkan sertifikat kemampuan bahasa inggris.

Tetapi, hanya ujian kemampuan bahasa inggris ini yang dapat diterima di berbagai lembaga seluruh dunia, sedangkan yang sepuluh kali lebih murah itu terbatas.

Ketika membuka pintu kaca gedung angin dingin dari pendingin ruangan menerpa sejuk wajah Raya yang sudah dipenuhi peluh. Ia mendekati seorang Bapak setengah baya yang duduk sendiri di depan meja persis di depan pintu kaca.

“Permisi, Bapak. Saya mau tanya, untuk ujian kemampuan bahasa inggris apa di sini?”

“Iya betul, registrasi akan dimulai pukul delapan. Silahkan ditunggu dulu.” Raya terkejut karena informasi yang ia terima, mulainya registrasi adalah pukul setengah delapan. Itu menjadi salah satu alasan ia memutuskan untuk tidak melanjutkan mencari pensil. Sedang, pengojek sudah pergi dan ia tidak memiliki kendaraan.

Raya hanya mengangguk lemas, lalu matanya berkeliling mencari tempat duduk yang kosong. Tempat duduk di lobi itu sudah penuh dengan beberapa orang yang masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya atau buku-buku dan kertas latihan ujian yang di bawanya. Mayoritas wajah yang Raya lihat adalah wajah oriental. Raya mendesah berat melihat realitas di depan matanya, atau mungkin hanya karena ia saja yang terlalu perasa. Wajah pribumi hanya terhitung jari.

Kenyataan bahwa lebih banyak orang-orang berwajah oriental yang mampu untuk mengambil ujian kemampuan ini, menyakiti jiwa nasionalisme Raya. Entah karena pembawaan mereka atau kulit tubuh mereka yang berwarna putih, mereka semua terlihat perlente di mata Raya. Tetapi, sebentar Raya berpikiran seperti itu, hatinya mengingatkan bahwa semua manusia adalah sama, mereka punya hati. Itu pasti.

Ia menemukan satu tempat duduk kosong di sebelah kanan pintu kaca, “Permisi, tempat duduk ini kosong?” Tanya Raya sembari tersenyum dengan sopan ke arah perempuan berwajah oriental yang manis dengan kacamata kotaknya. “Iya kosong, silahkan.” Jawabnya ramah.

Raya membalas senyumannya dan mengambil tempat duduk di sebelahnya. Tempat duduk itu berkapasitas empat orang. Di kanan Raya seorang laki-laki lemu dengan kemeja batik lengan pendek hanya menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali berkutat dengan buku yang sedang di bacanya. Di sebelah perempuan berwajah oriental tadi, duduk seorang perempuan berwajah oriental lainnya.

Raya menyesal sudah membiarkan pengojek pergi, padahal ia bisa saja sekarang kembali berkeliling mencari pensil lagi karena jam di tangannya masih menunjukkan waktu setengah delapan. Itu berarti Raya masih memiliki waktu tiga puluh menit untuk mencari. Tetapi, setelah dipikirkan kembali, tentu juga tidak mungkin ada toko alat tulis yang sudah buka. Kebanyakan buka pukul delapan atau bahkan mungkin sembilan. Raya pun mengurungkan niatnya.

Lobi sangat hening, meskipun ada banyak sekali orang duduk di dalamnya. Raya senang memerhatikan sekelilingnya. Ada seorang Bapak, yang tentu berwajah oriental juga, berdiri di depan pintu kaca melihat ke arah seorang anak perempuan yang terlihat dari wajahnya masih terbilang sangat muda. Raya memperkirakan umurnya mungkin baru menginjak lima belas tahun.

Di samping anak itu berdiri seorang wanita, yang Raya perkirakan adalah Ibunya. Bapak tadi menghampiri mereka dengan tangan kanan yang mengayunkan sebuah kunci mobil.

Manis sekali, mereka orang berada. Betapa beruntungnya anak itu memiliki dukungan moril dan dana dari kedua orang tuanya

Raya mencoba memecah keheningan membuka obrolan dengan perempuan yang duduk di sebelahnya, “Ikut ujian juga?” Tanya Raya ke arahnya.

“Iya. Bukannya semua yang di sini peserta ujian?” Tanyanya kembali, dari kalimatnya seperti menyindir, tetapi nada suara ramahnya tidak terdengar seperti itu di telinga Raya.

“Oh, saya pikir karena ini perguruan tinggi swasta jadi mungkin ada jam kuliah di hari sabtu. Berarti, semuanya ini peserta ya.”

“Iya.” Jawabnya singkat. Belum lama ia menjawab dan kami sempat terdiam sepersekian detik, ia membuka kembali percakapan soal ujian kemampuan bahasa inggris ini dan percakapan kami mengalir selayaknya kawan lama.

“Untuk apa kamu ikut ujian kemampuan ini?”

“Beasiswa. Kamu?”

“Ya, aku juga.”

Semua yang datang ujian saat ini sudah pasti bertujuan untuk mendapatkan sertifikat kemampuan berbahasa inggris, di mana yang membutuhkan persyaratan ujian bahasa inggris ini adalah perguruan tinggi khususnya di Inggris Raya. Raya termenung, melihat kenyataan yang dapat mengenyam dunia pendidikan berkualitas hanya segelintir orang yang memang memiliki modal.
            
Di sela-sela perbincangan, Raya terus saja terbatuk, dan ia merasa sangat tersiksa dengan batuk keringnya itu. Ia sudah bersiap membawa sebotol air di tasnya, ia mengambil dan meneguknya berkala.
            
“Kalau di dalam ruang ujian kita boleh bawa air?”
            
“Boleh, tapi harus dengan kemasan transparan, tidak boleh tertutup apa-apa. Bahkan, merek kemasan botol minum pun harus dilepas.” Jelas Natal, perempuan berwajah oriental yang mampu membuat pertemanan baru ini hangat.
            
Raya mengangguk, “Kalau begitu tempat minum saya ini tidak bisa dibawa ya. Saya beli air kemasan dulu kalau begitu, kamu mau?” Tanya Raya sembari bangun dari duduknya.
            
“Boleh.” Jawab Natal, lalu Raya menitipkan tasnya kepada Natal dan berlalu menuju ke toko swalayan ruko sebelah. Entah sudah berapa lama Raya tidak merasakan hangat seperti ini, yang terasa akrab di ingatannya. Ia merasa pagi yang begitu cerah dan langkah kakinya ringan.
            
Percakapan dengan Natal, juga suasana kompetisi di lobi membuat Raya teringat dengan masa-masa lalunya ketika masih bersekolah. Rasa yang ia rindukan, ketika hidup adalah tidak rumit. Sesampainya di toko swalayan ia menuju ke rak minuman dan mengambil dua botol air kemasan, lalu membawanya ke kasir.
            
Seorang Bapak tua berdiri di depan penjaga kasir sembari menghitung uang recehnya. Pakaiannya kumal. Ia mengenakan kaos oblong yang ada robek di beberapa bagiannya, celana pendeknya pun penuh dengan bercak tanah. Raya melihat sandal yang ia kenakan pun sudah tidak layak.
            
Bapak itu sudah sangat tua, ia melihat satu per satu uang recehnya sembari menghitung lamban. Wanita penjaga kasir menunggu Bapak itu dengan khidmat. Raya mengambil tempat antrian kasir di belakang Bapak itu.
            
“Kalau rokok yang itu berapa, Mbak?” Suara parau dan mata lelah Bapak itu menyakiti hati Raya. Raya ingin menangis melihat seorang tua di hadapannya yang terlihat sangat lemah dan seperti membutuhkan kawan kemanapun ia pergi.
            
“Oh ini dua puluh tiga ribu lima ratus, Pak.” Jawab penjaga kasir.
            
“Du..a..pu…luh…” Bapak tua itu menghitung uang yang ada di tangannya. Raya memperhatikan sepertinya uang itu tidak cukup. Hampir saja Raya akan menawarkan untuk membayarkan Bapak itu, ketika Bapak itu mengeluarkan uang dari sakunya.
            
Uang yang ia keluarkan juga receh, dan memakan waktu untuk menghitung. Setelah ia memberikan uang sejumlah harga rokok. Ia memasukan kembali sisa uangnya yang hanya tersisa beberapa ribu saja.
            
Bapak itu keluar dari toko swalayan dengan langkah gontai. Ia seperti kelelahan. Raya segera membayar air kemasannya, tetapi sakit di hatinya melihat pemandangan barusan tidak juga hilang sampai ia keluar dari toko swalayan.
            
Bagaimana bisa saya melihat wajah kehidupan yang berbanding terbalik pada saat bersamaan. Di dalam gedung sana banyak anak-anak yang terlahir beruntung. Dapat meneruskan studi sampai ke luar negeri, dan membayar mahal banyak keperluan seperti ujian ini. Mereka semua diantarkan dengan mobil-mobil mewah. Sedang, Bapak tadi? Anak dari Bapak tadi?
            
Raya mengenyahkan semua pergolakan batinnya saat kembali memasuki lobi gedung. Ia kembali duduk di tempat semula dan menyerahkan sebotol air kemasan kepada Natal.
            
“Berapa?” Tanya Natal.
            
“Ah, jangan.” Kata Raya menolak.
            
“Loh, berapa harganya.”
            
“Tidak usah, Tal.”
           
Lalu, mereka melanjutkan percakapan yang masih berkutat dengan ujian kemampuan bahasa inggris, “Pak, kalau saya tidak ada pensil bagamana?” Tanya seorang perempuan oriental yang duduk di sebelah Natal kepada Bapak penjaga meja depan pintu. Raya menguping.
           
“Ya, seharusnya punya.” Jawab penjaga pintu singkat.
            
Lalu, perempuan itu bergegas pergi keluar dan dari balik pintu kaca Raya memerhatikan ia masuk ke dalam mobilnya dan berlalu,Mungkin, mencari pensil.
            
Raya yang tadi sudah agak tenang, kembali resah karena ia tidak juga memiliki pensil. Ia mencoba peruntungan selanjutnya kepada laki-laki lemu yang duduk di sampingnya.
           
“Kak, ada pensil cadangan? Saya tidak ada pensil.”
           
“Saya hanya bawa dua pensil. Satu untuk cadangan saya.” Jawabnya dengan nada menyesal.
            
“Oh, iya tidak apa Kak. Untuk cadangan itu kakak perlu.” Kata Raya mencoba menenangkan laki-laki itu, yang mungkin merasa tidak enak dengan Raya.
            
Terdiam beberapa lama, laki-laki itu kembali bersuara, “Kalau dibagi dua bagaimana?”
            
“Loh memangnya kakak tidak apa?”
            
“Iya tak apa.” Katanya sembari mengocek isi tasnya dan mengeluarkan sebuah pensil. Lalu, ia memotek satu pensilnya menjadi dua.
            
“Terima kasih banyak ya kak. Semoga ujian kakak sukses.”
            
“Amin. Terima kasih kembali.”
            
Raya terdiam menikmati keindahan-keindahan yang terjadi. Baginya, hal-hal seperti ini adalah indah. Seperti membuktikan bahwa manusia adalah manusia. Saling berbagi, tolong menolong, dan mengasihi.
            
Menguatkan Raya bahwa cinta dapat kau temukan dimana saja kau menanamkan.

Raya tersenyum mengingat Bapak tua tadi.
Pak, sesulit apapun hidup Bapak. Saya akan mendoakan agar kebahagian dan cinta akan terus mengiringi hidup Bapak. Jangan menyerah Pak. Saya beberapa sudah membuktikan keindahan-keindahan yang ajaib karena menebarkan cinta.

Jakarta, Sabtu, 29 September 2018
Ratia Kusuma


Comments