"Malih...Malih...Hanya gegara foto bersama sialan itu. Saya jadi berpikiran jelek. Percuma sudah saya memberi hati saya kepada mereka orang!" Pekik Tono kepada Tejo sembari menyeruput kopi buatan Bi Imah. Mereka berdua selalu menghabiskan sore di warung Bi Imah sembari berkeluh kesah tentang hidup yang tak berkesudahan.
"Siapa lagi Malih?" Tanya Tejo kebingungan.
"Ah, kata pengganti dari kata kasar mungkin." Kata Tono sembari meletakkan gelas kopinya keras sampai bergemeletak dan mengagetkan Bi Imah yang sedang ikut nimbrung mendengarkan.
"Supaya apa?"
"Supaya tidak dosa."
"Tunggu! Tunggu! Tolong ceritakan lebih jelas maksudmu, No."
"Saya merasa tidak dianggap oleh kawan-kawan yang sudah saya anggap saudara sendiri. Bedebah! Kenapa saya terlahir menjadi seorang kampung yang berhati lemah. Mereka berfoto bersama, tanpa saya! Padahal, saya di sana, Jo. Saya di dekat mereka! Tidak adakkah etikat mereka mengajak saya? Sakit hati saya, Jo"
"Mungkin, mereka lupa? Atau..." Tejo berhenti sebentar lalu tertawa dengan keras, ia melanjutkan kalimatnya, "Mereka memang tidak mau ajak kamu! Kamu itu siapa?! Begitu pasti kata mereka. Kamu mungkin terlalu memalukan, kontroversial."
"Ya. Ya. Apapun itu. Saya memang tidak pernah menjadi bagian dari apapun atau siapapun, Jo. Manusia pada akhirnya pasti akan berdiri di kakinya sendiri. Bukan pada istri, suami, orang tua, kekasih, apalagi kawan."
Jakarta, 10 Oktober 2018
Ratia Kusuma
Comments
Post a Comment