Malam itu, saya menyeberang
jalan. Melihat seorang anak laki-laki kurus duduk berjongkok memeluk lututnya
dengan wajah menghadap ke tanah. Tangannya sibuk dengan sesuatu.
Saya mendekatinya, ikut
berjongkok di hadapannya. Ia menengadah menatap saya dengan mata lelah dan
tersenyum sangat manis.
Hari ini saya menyesal tidak membeli
makanan enak dan mahal di Bandara, atau sekedar mengantungi boks makanan yang dibagikan
di dalam pesawat. Saya ingin dia menikmatinya.
“Kenapa hidungmu luka?” Ia
menggeleng perlahan, masih tetap tersenyum.
“Jatuh? Di mana?” Ia mengangguk
ragu, kembali menunduk dan kembali sibuk dengan tangannya yang merobek-robek
kecil bekas sampah punting rokok yang bertebaran di mana-mana. Saya menampik
tangannya, potongan punting rokok terlepas dari genggamannya terjatuh ke tanah.
Jelas, ini kali ketiga, saya
melihat hidungnya terluka bukan karena jatuh.
“Kenapa di luar rumah? Sudah
malam. Besok sekolah kan?”
“Masuk siang.” Jawabnya lemah.
“Tetap saja. Nanti suatu waktu
kamu masuk pagi, jadi sulit bangun. Pulang.” Saya berkata lembut sembari
menunjuk ke arah rumahnya di belakang toko kopi langganan saya.
Ia bergeming. Masih menunduk ke
tanah. Tangan saya spontan ingin menyayanginya. Saya mengelus kepalanya, “Pulanglah.”
Lalu, saya menekuri sekujur
tubuhnya yang semakin kurus dari hari ke hari. Saya mengelus punggungnya, terasa
tulang rusuk yang lebih tebal dari kulitnya. Saya ingin membawanya lari dan membesarkannya
dengan penuh kasih sayang.
Saya berlalu meninggalkannya.
Bersama ingatan teriakan makian cempreng ibunya setiap hari kepadanya.
Jakarta, 21 Oktober 2018
Comments
Post a Comment