Kisah Kakek Tua


Berlian, adik sepupu kesukaan saya.

Mari bayangkan,
duduk di potongan gambar undakan belakang punggung kita,
sambil memandangi hangatnya kampung halaman yang hijau dan dingin.

Saya punya kenang.
Sepuh yang duduk renta,
dengan tongkat pemapah di kiri tangannya.

Matanya kosong, berkerut
dan hitam lebam, bukan pukulan tapi usia.

Makannya berceceran,
piring miring hampir tumpah.

Kakinya menyeret dan tertitah,
ketika berjalan ke arah kamarnya.

Duduknya loyo.

Dulu, badannya legam hitam tinggi besar.
Ia berkuasa dan bermartabat.

Sore ini dia berusaha untuk meminum air dari gelasnya,
tangannya gemetar tak sanggup menjangkau.

Saya mengintipnya dalam-dalam,
di sela pintu kamarnya yang terbuka.

Sekonyong-konyong kehebatannya menjelma kematian.

Istrinya yang sempurna, mati.
Dimulai dari sana ia sekarat.

Lalu, istri keduanya bedebah.
Pengeruk harta, pembawa sial.

Dari balik pintu saya menggeram,
dan menghardik kesendirian di penghujung usianya.

Sore itu.
Dari balik pintu.

Ada doa milik saya yang berdosa,
berdampingan dengan air mata iba.

Kematiannya diamini.

Ia kembali berdansa dengan sang istri.
Dan, saya tidak datang ke pemakamannya.

Dia sudah bahagia.


*Teruntuk Alm. Simbah Suroso terkasih


Jakarta, 27 Oktober 2017



Comments