Monalisa



Mona dan Lisa pernah bercumbu di sudut ruangan.
Menghilangkan persekutuan di masing-masing pikiran.
Bahwa ini tidak benar.

"Bagaimana dengan wanita-wanita di luar sana
yang diperkosa oleh suaminya?" Tanya Lisa.

"Bagaimana bisa suami memerkosa istrinya?"

"Di saat bu Frau tetangga kita sakit parah,
suaminya memaksa meladeninya.
Ia hamil dan mengurus sendiri kandungan,
sampai si jabang bayi lahir.

Lalu suami mengambil si jabang bayi
pergi meninggalkannya."

"Aku bingung." Kata Lisa.

"Baiklah. Anggap saja itu perbuatan dosa.
Sedang perbuatan kita dosa yang melanggar kodrat.
Mari kita cepat menikah, cari suami.

Sehingga, yang kita lakukan tidak melanggar kodrat.
Dan menikmati kesengsaraan
menjadi istri yang disepelekan suami."

"Aku tidak mau disepelekan.
Bagaimana caraku memilih
mana suami yang baik?" Tanya Lisa.

"Salah satu kesulitan orang sekarang adalah
terlalu banyaknya kebebasan untuk memilih.
Ah, andaikata kawin sama sama dengan lahir,
alangkah baiknya.

Tahu-tahu bayi sudah ada,
tanpa memilih untuk menjadi anak siapa,
beragama apa, di kota mana, di negara mana,
bahkan tahun berapa.

Karena itu aku ingin kawin itu seperti lahir.
Tahu-tahu dipinang dan menerima,
tanpa memikir siapa, dimana dan kapan dipinang."

Sekarang, mereka bersuami dan
menjadi pesakitan yang membenci hidupnya.



Bundaran HI, 24 April 2018


Comments