Sebuah Pertunjukkan Yang Gagal




Hari ini kali pertama saya mengikuti kegiatan di Serambi Salihara. Pembahasan tentang Bahasa Indonesia dan Pemuda. Saya menjadi sosok yang berbeda, melihat dari sudut pandang lain dari suatu hal.

Perihal yang dibahas sangat umum. Terlebih menyangkut bahasa, suatu alat yang dipergunakan oleh semua makhluk untuk berkomunikasi, dengan caranya masing-masing. Saya pikir, hal-hal berbau teori dan birokrasi yang berbelit-belit dan sukar dilihat realisasinya, hanya terjadi di dalam ranah pemerintahan.

Sebentar saya jelaskan duduk perkaranya dengan bahasa yang lebih mudah dicerna. Ketika, hal sederhana yang semua orang tahu, dibentuk menjadi teori, dikemas menjadi diskusi, lalu yang terakhir dipertunjukkan. Dan, semua penonton mengangguk-angguk takjub. Perkara kemasan, perkara pertunjukkan, yang tidak juga luput dengan kontribusi sang aktor, atau dalam hal ini pembicara diskusi, menjadi peran penting dalam suatu pertunjukkan.

Latar belakang pembicara diskusi menjadi poin penting dalam pengaruh terhadap seberapa dalam dan banyak anggukan takjub penonton. Ia penyair, penulis, aktivis, bla bla bla. Ah, klasik. Pencitraan.
Selanjutnya, pergolakan saya bermula dari sesi tanya jawab. Seorang pendatang dari timur kesulitan dalam menyampaikan pertanyaannya, sehingga mungkin pikir saya, pembicaraannya jadi terlalu berputar-putar. Lalu, suara menyeletuk datang dari arah paling belakang penonton, “Lalu, pertanyaannya?” dengan suara yang hampir berteriak, lalu diikuti dengan gemuruh penonton yang mengiyakan teguran itu.

Itu yang saya maksud dengan bahasa. Dua kali terdengar celetukkan yang serupa datang dari sumber suara yang sama. Saya mencari asal suara dengan mata tajam. Tidak bertemu juga saya dengan rupanya, bahkan sampai selesai acara.

Saya pikir berhenti di sana, dua pembicara di depan pun dengan gaya sindiran berkelas, suara tegas bernada rendah menambahkan, bahkan di saat penanya terbata-bata. Terdengar kalimat sindiran di sana. Semoga dapat tergambar sedikit situasinya.

Saya muak. Di tambah ruangan pengap, penuh dengan penonton. Saya keluar ke kamar kecil.
Bagaimana tidak muak?

Poin nomor satu dalam bagan yang pembicara suguhkan dalam tayangan paparannya adalah kesantunan.

Ya.

Paham?

Dalam bahasa, menurut pembicara diskusi yang baru saja menyelesaikan pertunjukkannya, yang terpenting adalah kesantunan.

Pertunjukkan mereka gagal di mata saya.

Bagaimana sebuah bahasa dapat begitu luas pengertiannya bagi saya. Bahkan, di dalam sebuah tindakan kecil, ada bahasa.

Saya sudah memutuskan, yang sebenar-benarnya tidak dipolitisasi, tidak dibuat-buat, hanya seni yang tidak diperjualbelikan.


Salihara, 17 Oktober 2018
Ratia Kusuma

Comments